SEJARAH PERJALANAN JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA
Tidak Ada Orang Kaya Dalam Dunia Kesehatan
Perjalanan
Panjang UU SJSN
Adanya
pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi
tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti
hemodialisa atau biaya operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada
penggunaan pendapatan seseorang dari pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya
menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal
ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga.
Sehingga munculah istilah “SADIKIN”, sakit sedikit jadi miskin. Dapat
disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada
orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang
dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya.
Begitu
pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita
harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan dapat
menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya kita
kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Belum
lagi menyiapkan diri pada saat jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang
semakin bertambah. Pada tahun Pada 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia
adalah 270 juta orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun.
Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2030 terdapat 25% penduduk Indonesia
adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit
degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak
lainnya. Apabila tidak aday ang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini
mungkin dapat menjadi masalah yang besar
Seperti
menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak
pihak berharap tudingan Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan
segera luntur dan menjawab permasalahan di atas.
Munculnya
UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Hingga disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses
yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali
dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid
menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut
direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan
Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No.
25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan
Sistem Jaminan Sosial Nasional). Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA
RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000,
menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional
dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam
Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang
Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir
5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk
Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang
lebih menyeluruh dan terpadu”.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.
Konsep
pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari
2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima
puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan
reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah
menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 .
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 .
Lanjutan
Implementasi UU SJSN hingga ke UU BPJS
Setelah
resmi menjadi undang-undang, 4 bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada
bulan Januari 2005, kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk
menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN
sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk
menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK
menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan
memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).
Putusan
MK semakin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi.
Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan
dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) pun akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk
DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang
pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008.
Pembahasan
RUU BPJS berjalan alot. Tim Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg BUMN, yang
notabene keduanya adalah Pembantu Presiden, tidak mencapai titik temu. RUU BPJS
tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009
terlewati. Seluruh perhatian tercurah pada RUU BPJS sehingga perintah
dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan.
Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua
ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.
Tahun
berganti. DPR mengambil alih perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan
konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS
inisiatif DPR kepada Pemerintah pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan
bertambah, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tengah berseteru
menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan
BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.
Pro
dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya
berakhir pada 29 Oktober 2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian
mengesahkannya menjadi Undang-Undang. Setelah melalui proses panjang yang
melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak
kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal
lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat
BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen,
Asabri, dan PT Askes.
Meski
bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), yang bahkan semestinya telah dapat dioperasionalkan sejak 9 Oktober
2009 dua tahun lampau. Perjalanan tak selesai sampai disahkannya BPJS menjadi
UU formal, jalan terjal nan berliku menanti di depan. Segudang pekerjaan rumah
menunggu untuk diselesaikan demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial.
Sebuah kajian menyebutkan bahwa saat ini, berdasarkan data yang dihimpun oleh
DPR RI dari keempat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus badan
hukumnya adalah Persero tersebut, hanya terdapat sekitar 50 juta orang di
Indonesia ini dilayani oleh Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh 4 BUMN
penyelenggara jaminan sosial.
Pasca
Sah UU BPJS
Perubahan
dari 4 PT (Persero) yang selama ini menyelenggarakan program jaminan sosial
menjadi 2 BPJS sudah menjadi perintah Undang-Undang, karena itu harus
dilaksanakan. Perubahan yang multi dimensi tersebut harus dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya agar berjalan sesuai dengan ketentuan UU BPJS.
Pasal
60 ayat (1) UU BPJS menentukan BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan
program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. Kemudian Pasal 62 ayat
(1) UU BPJS menentukan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS Ketenagakerjaan dan menurut
Pasal 64 UU BPJS mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015.
Pada
saat mulai berlakunya UU BPJS, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero)
dan PT Jamsostek (Persero) ditugasi oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal
yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari
Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut
mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.
Mengubah
struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar
dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur,
mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut
ditentukan dalam Undang-Undang.
Untuk
itu diperlukan komitmen yang kuat dari kedua BUMN ini, BUMN yang dipercaya
mengemban tugas menyiapkan perubahan tersebut. Sebagai professional tentu
mereka paham bagaimana caranya mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam
proses perubahan tersebut, dan bagaimana harus bertindak pada waktu yang tepat
untuk membuat perubahan berjalan tertib efektif, efisien dan lancar sesuai dengan
rencana.
Tahun
2012 merupakan tahun untuk mempersiapkan perubahan yang ditentukan dalam UU
BPJS. Perubahan yang dipersiapkan dengan cermat, fokus pada hasil dan
berorientasi pada proses implementasi Peraturan Perundang-undangan secara taat
asas dan didukung oleh pemangku kepentingan, akan membuat perubahan BPJS
memberi harapan yang lebih baik untuk pemenuhan hak konstitusional setiap orang
atas jaminan sosial.